Membicarakan makna “salaf” tidak hanya terpaku pada satu makna.
Sebagaimana yang kita tahu bahwa Bahasa Arab itu memiliki banyak makna
dalam satu kata bakunya yang jika dikembangkan ke berbagai wazan, maka
artinya pun beda, begitu juga denga perbedaan harakat.
Istilah ini sejak dulu sudah digunakan di Indonesia, contohnya
pesantren salafiyah yang berarti metodenya masih menggunakan metode
salaf dalam proses menyalurkan pengetahuan, yaitu sorogan dan bandongan
atau dalam istilah ilmu hadits yaitu tahammul wal ada’ via qira’ah ‘ala
syaikh (murid membaca kepada guru) atau sima’ min syaikh (guru yang
membaca dan murid yang mendengarkan).
Akhir-akhir ini pula banyak kelompok yang mendakwahkan dirinya
sebagai pengikut salafi. Jika ada sebagian orang desa mendengar istilah
itu, maka langsung terbersit makna pesantren salafiyah yang tersebar di
desa mereka, atau santri-santri pondok tersebut, padahal yang dimaksud
bukanlah itu.
Mengutip dari kitab Nazarat fi Jauharatit Tauhid (yang disusun oleh
Dr Abdul Hamid Ali Izz Al-Arab, Dr Shalah Mahmud Al-‘Adily, dan Dr
Ramadhan Abdul Basith Salim, ketiganya dosen Al-Azhar Mesir), kita perlu
membedakan ketiga istilah di atas karena satu di antara tiga istilah
itu berbeda dengan yang lainnya.
Adapun istilah “Salaf” yaitu para sahabat, tabi’in
dan atba’it tabiin yang hidup sampai batas 300 H. Merekalah
sebaik-baiknya generasi, sebagaimana termaktub dalam hadits nabi SAW
yang diriwayatkan Imam Bukhari dengan sanad dari Abdullah bin Mas’ud
dari nabi SAW:
Ø®َÙŠْرُ النَّاسِ Ù‚َرْÙ†ِÙŠ، Ø«ُÙ…َّ الَّذِينَ ÙŠَÙ„ُونَÙ‡ُÙ…ْ ، Ø«ُÙ…َّ
الَّذِينَ ÙŠَÙ„ُونَÙ‡ُÙ…ْ، Ø«ُÙ…َّ الَّذِينَ ÙŠَÙ„ُونَÙ‡ُÙ…ْ، Ø«ُÙ…َّ ÙŠَجِئُ Ù‚َÙˆْÙ…ٌ
تَسْبِÙ‚ُ Ø´َÙ‡َادَØ©ُ Ø£َØَدِÙ‡ِÙ…ْ ÙŠَÙ…َÙŠْÙ†ُÙ‡ُ Ùˆَ ÙŠَÙ…َÙŠْÙ†ُÙ‡ُ Ø´َÙ‡َادَتُÙ‡ُ
Artinya, “Sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian
orang-orang setelah mereka (tabi’in), kemudian yang setelahnya lagi
(atba’it tabi’in), kemudian akan datang suatu kaum yang persaksiannnya
mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya.”
Meskipun definisi mereka sampai batas 300 H, di sini ada catatan
penting yaitu keselarasan mereka dengan Al-Quran dan Hadits. Jika hanya
hidup pada rentang masa 300 H tetapi kontradiksi dengan kedua pedoman
ini, maka tidak disebut sebagai salaf. Salah satu contohnya adalah sekte
musyabbihah yang hidup pada masa itu.
Musyabbihah adalah kelompok tekstualis dalam membaca Al-Quran dan
hadits yang meyakini bahwa Allah serupa dengan makhluk-Nya, yaitu
memiliki anggota tubuh antara lain bertangan, berkaki, bermulut,
bermata, dan seterusnya.
Adapun “salafi” adalah mereka (ulama maupun orang
biasa) yang datang setelah 300 H dan dinisbahkan pada kaum salaf yang
telah disebutkan di atas, juga menganut manhajnya (metode). Istilah ini
dapat dikaitkan dengan semua orang yang yang mengikuti manhaj salaf,
bahkan kita pun bisa, namun itu terjadi jika memang benar-benar perilaku
dan manhajnya berdasarkan salaf, bukan hanya menyandang titel salafi
tetapi perilakunya berbeda.
Terakhir adalah salafiyyah yang difondasikan dan
disusun oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (728 H) dan muridnya Ibnul
Qayyim Al-Jauziyyah (751H) dari Al-Quran, Hadits, perbuatan serta
perkataan ulama salaf dan mengodifikasikannya dalam bentuk kitab khusus
dan prinsip yang tetap. Unsur-unsur dalam kitab kedua ulama itu memang
sudah ada sebelumnya, namun masih berserakan terpisah, kemudian barulah
dikumpulkan.
Setelahnya munculah Muhammad bin Abdil Wahhab (1206 H) yang
menyebarkan apa yang disusun oleh kedua ulama tadi, Ibnu Taimiyyah dan
Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahumallah di jazirah arab, ia berpegang
teguh pada beberapa risalah dan ikhtisar yang dikutip dari kitab-kitab
Ibnu Taimiyyah.
Mengutip dari kitab Nazarat fi Jauharatit Tauhid, terdapat catatan
yang menurut saya penting dari perkataan salah seorang peneliti di dalam
kitab Al-Fikrul Islamy Al-Hadits karya Dr Abdul Maqshud Abdul Ghani,
“Jika kita membandingkan antara pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab dan
Ibnu Taimiyyah dalam beberapa masalah akidah hampir keduanya sama dan
tidak berbeda, kecuali Ibnu Taimiyyah telah merinci pendapatnya dan
menguatkannya dengan dalil-dalil dan hujjah, serta membantah pendapat
orang yang berseberangan dengannya dengan dalil dan sanad. Sedangkan
Muhamad bin Abdul Wahhab hanya mennyebutkan keterangannya secara singkat
saja.”
Hal yang menonjol dari ketiganya hanya dari segi waktu dan pijakan
dalam berpegang pendapat, jika salafy itu memang orang-orang yang
menisbahkan dirinya sebagai pengikut manhaj salaf atau Ahlussunah wal
Jamaah, salafiyyah lebih condongnya disebut usaha regenerasi, meskipun
dalam beberapa realitanya tidak begitu.
Sebagai warga Indonesia, banyak istilah naturalisasi dari bahasa lain
yang kita gunakan di kehidupan keseharian secara umum, seperti tadi
pondok pesantren salafiyah. Lagi-lagi kita harus mencermati suatu
istilah berdasarkan makna, substansi, dan intisarinya. Jangan terpaku
pada sisi zahirnya saja. Adakalanya suatu istilah berbeda antara praktik
dan substansinya. Wallahu a’lam. (Amien Nurhakim)
Source: Nu.or.id
0 Comments